Saya memulai kelas dengan pertanyaan sederhana; “Siapa yang
punya cita-cita bukan jadi dokter?” Umumnya, yang mengacungkan jari tak sampai
separo kelas. Ya, dokter memang menjadi cita-cita yang paling populer di SDN
Sekar I di Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro. Entah itu cita-cita murni si
anak atau cita-cita yang disodorkan orang tua pada anak.
Kepada yang mengacungkan tangan, saya tanya apa cita-citanya.
Kebanyakan menjawab jadi polisi dan tentara. Yang populer lainnya adalah
menjadi guru. Namun, ada beberapa yang bercita-cita ‘aneh’. Misalnya, empat anak
ingin menjadi pemain sepakbola dan satu menjadi pembalap. Hebatnya, tidak ada
satu pun yang mengaku ingin jadi petani atau peternak, meski mereka hidup di
kawasan pertanian.
Terkait ‘aneh’ ini, ada satu anak yang mendapat reaksi dari
teman-temannya. Saat saya bertanya cita-citanya apa, anak yang hadir di kelas
3+4 ini menjawab, “Jadi Polwan.” Teman-temannya tertawa gemuruh karena anak ini
laki-laki. Saya segera mendekati anak ini, menepuk bahunya, dan berkata,
“Polwan itu untuk wanita. Adik kan pakai celana. Jadi, adik lebih cocok jadi
polisi.”
Saya lalu nasihatkan pada semua murid, apa pun cita-cita yang
mereka angankan maka mereka harus serius dan bekerja keras untuk mewujudkannya.
Kepada yang tidak mengacungkan tangan, saya coba pancing
dengan pertanyaan, “Kalau ingin jadi dokter, apa sudah tahu caranya?” Nah,
jawaban mereka umumnya sangat abstrak. “Rajin belajar dan menabung.”
Tentu saja jawaban mereka tidak keliru, namun belum sangat
jelas. Maka, saya jelaskan bahwa setiap cita-cita tentu memiliki jalan berbeda
untuk ditempuh, “Setelah lulus SD, kalian harus melanjutkan sekolah terus
sampai masuk ke Fakultas Kedokteran. Setelah lulus ujian teori dan praktek,
kalian baru boleh jadi dokter.”
Terkait dengan profesi penulis, tak seorang pun anak
membayangkan. Yang mereka kenal cuma pekerjaan juru tulis. Ketika saya
tunjukkan gambar J. K. Rowling, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Namun,
saat saya tunjukkan gambar Daniel Radcliffe, sebagian mereka bilang, “Ah, itu
Harry Potter.”
Lalu, saya jelaskan, Rowling itu si penulis novel Harry
Potter yang ceritanya bisa disaksikan di televisi. Saya jelaskan juga, Rowling
menjalani hidup relatif miskin hingga terpaksa menulis di warung-warung. Nasibnya
berubah ketika novel Harry Potter laku keras di dunia dan difilmkan.
Lewat
menulis, Rowling mengubah diri dari janda miskin menjadi salah satu wanita
terkaya di dunia.
Saya juga tunjukkan gambar R. A. Kartini. Sebagian murid
mengenali, sebagian tidak. Ketika saya tanyakan siapa R. A. Katini, banyak yang
menjawab dia pahlawan nasional. Ketika saya tanya bagaimana Kartini menjadi
pahlawan, tidak ada yang menjawab.
Saya jelaskan, ide-ide perjuangan R. A. Kartini itu bisa
dilihat dalam buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang.’ Saya jelaskan pula, buku itu
kumpulan surat-surat yang ditulis Kartini pada temannya Mr Abendanon di
Belanda. Saya tekankan, menulis bisa membaut seseorang jadi pahlawan.
Saya juga memberi beberapa contoh penulis profesional,
termasuk beberapa contoh buku saya. Lalu, saya tekankan, “Dengan menulis, orang
bisa kaya. Dengan menulis, orang bisa jadi pahlawan. Dengan menulis, orang bisa
keliling dunia. Dengan menulis, orang bisa jadi apa saja.”
Nah, saat mengakhiri sesi kelas inspirasi, saya bertanya
pada murid-murid, “Ada kah yang sekarang punya cita-cita jadi penulis?”
Comments