Dampak New Media

Dengan teknologi tinggi, riset seolah menjadi pekerjaan sangat mudah. Di lembaga media massa tradisional, diperlukan tim riset yang mengumpulkan, menata, mengelola, dan mengambil data untuk membuat berita jadi lebih mantap. Di era new media, yang diperlukan cuma searching engine semacam Google. Informasi dan data yang terkumpul dari berbagai penjuru dunia tinggal diambil lewat beberapa ketikan jari.

Begitu banyaknya informasi yang beredar juga menciptakan fenomena baru bagi seluruh warga jurnalisme. Begitu mudahnya dan banyaknya pembajakan digital memunculkan masalah hak cipta. Orang bisa cukup mengkopi lalu mengubah sedikit atau menambah/mengurangi ini dan itu, maka seolah-olah ia sudah menciptakan sesuatu yang baru.

Memang, plagiarisme jadi lebih mudah untuk dilakukan. Tapi, jangan lupa, itu juga jadi lebih gampang terdeteksi. Ada sejumlah piranti di Internet yang bisa membantu menentukan apakah suatu tulisan memang murni buatan sendiri atau sekadar copy-paste.

Jayson Blair, wartawan untuk New York Times, dipecat karena kasus pembajakan dan plagiarisme ini. Dalam salah satu tulisannya tentang sisi-sisi lain korban perang di Irak, ia hanya mengutip artikel-artikel dari media-media lokal. Kebohongannya terungkap ketika beberapa nara sumber mengaku tidak pernah berhubungan atau dihubungi Blair.

Kemudahan teknologi ini juga bisa membuat setiap orang menjadi wartawan. Dengan perangkat biasa-biasa saja, misalnya telepon selular atau kamera digital, orang bisa meng-upload konten dan mempublikasikan di situs-situs berita atau di blog pribadi atau mengirim ke newsroom pilihan.

Gambar-gambar dahsyat di televisi tentang tsunami Aceh kebanyakan diambil oleh orang-orang biasa yang saat itu berada di lokasi terdekat dengan kawasan bencana. Begitu juga dengan saat gempa di Padang. Gambar-gambar yang didapatkan masyarakat awam bisa beredar lebih cepat daripada gambar-gambar yang dibuat wartawan profesional.

Dampak lainnya adalah berita dan info tersedia di mana saja, kapan saja. Orang bisa dengan gampang memilih data, info, dan berita yang ia inginkan. Boleh dikata, semua ini GRATIS. Maka, ini memunculkan istilah baru - memaksimalkan informasi -

Perkembangan demikian memunculkan sejumlah pertanyaan. Konsumen, yang semakin diberdayakan oleh teknologi baru, apakah telah memutuskan bahwa media tradisional tidak lagi relevan? Di sisi lain, apakah perkembangan teknologi berarti kematian bagi jurnalisme profesional? Kalau siapa saja bisa jadi wartawan, lalu siapa saat ini yang pantas disebut sebagai wartawan profesional? Bagaimana dengan gate-keeper? Apakah mereka akan kehilangan pekerjaan atau diganti jabatan menjadi community manager?

Juga, ada masalah dengan etika. Dengan semakin dipertanyakannya status 'wartawan profesional', bagaimana lembaga media massa mengontrol masalah etika? Bagaimana pengelola media massa melakukan check and re-check atas berita yang ditulis/dikirim oleh orang awam? Bagaimana cara mencegah/menghindari beredarnya informasi yang sifatnya masih desas-desus, rumor, gosip atau bahkan manipulasi?

Selain itu, masih ada dampak yang lebih dahsyat. Kecepatan, ketepatan, dan kemenyeluruhan penyampaian informasi di era New Media ini bisa terjadi dalam level yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Koran harian selalu tertinggal beberapa jam dibanding 'koran dot.com'. Radio dan televisi bisa saja melakukan siaran langsung (kecepatan maksimal), namun New Media lebih mungkin memberikan informasi lebih menyeluruh. Saat siaran langsung, televisi dan radio umumnya hanya bisa membidik beberapa angle peristiwa. Namun, New Media bisa menyampaikan berbagai angle. Berita dalam bentuk sekadar narasi bisa dianggap sebagai sesuatu yang basi. Dengan menggunakan alat-alat baru, New Media bisa menambahi kata-kata dengan audio/video, plus kelengkapan informasi lainnya.

Comments